Kemerdekaan Bukan Akhir Kepahitan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Terkadang kita salah memahami arti kemerdekaan dengan menganggap bahwa perjuangan telah selesai, pertanda sejak militer Belanda, dan Jepang juga Inggris mengangkat kaki dari Bumi Ibu Pertiwi. Hingga dengan begitu membuat masyarakat Pertiwi sebagian mengambil bantal untuk tidur bahkan hingga hari ini, sebagian lainnya bersorak-sorai gembira yang kadangkala kegembiraan itu diterjemahkan kedalam pesta demokrasi lima tahunan sebagai ajang pertarungan merebut kekusaan untuk mensejahterakan diri, bukan berlomba-lomba mewujudkan kehendak amanat penderitaan rakyat, sementara disisi lain ada yang asik memelihara budaya kremokrasi dalam meraih posisi di negri ini yang pada gilirannya melahirkan bayi-bayi setan (kleptokrasi, klepto: maling). Oleh karena itu sangat keliru bila menganggap bahwa semuanya telah selesai, adalah ketikan sejak Bung Karno dan Bung Hatta membacakan proklamasi di Jalan Pengangsaan Timur No 56 Jakarta, pada 17 Agustus 1945.
Sejak dahulu kala Bung Karno, telah mengisyaratkan bahwa kemerdekaan yang dicapai Indonesia dalam perjuangannya bukanlah sebuah akhir, bukanlah akhir dari masalah tetapi dapat kita katakan bahwa itu barulah merupakan titik awal menuju perjuangan yang lebih besar dan berat sebab dahulu gerak perjuangan hanyalah mengarah pada satu wajah yang jelas, ialah wajah kolonialis, sementara hari ini tumbuh dari dalam batang tubuh Indonesia itu sendiri bak tomur yang perlahan-lahan mengerogoti nan melumpuhkan, dengan wajah yang samar-samar.
Bung Karno, “Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangunkan soal-soal; tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu. Hanya ketidakmerdekaanlah yang tidak memberi jalan untuk memecahkan soal-soal,” (Yudi Latif, Revolusi Pancasila, Mizan, Bandung 2015). Seperti yang penulis katakana bahwa “Kemerdekaan Bukan Akhir Kepahitan” tetapi seperti kata Bung Karno, kemerdekaan membangunkan masalah, yang mungkin telah tertidur sejak satu setengah abad lamanya, dan kini kepahitan-kepahitan itu telah tercicil satu per-satu, namun kendati demikian kemerdekaan juga menyediakan kesempatan dengan memberi jalan untuk memecahkan segala persoalan yang ada dan bahkan yang mungkin ada. Untuk itulah kemerdekaan yang kini kembali kita rayakan dengan usia yang ke 76 tahun, harus benar-benar kita manfaatkan dengan kebebasan yang kita dapatkan di dalamnya dan dengan kesadaran yang sebenar-benarnya kesadaran bahwa kemerdekaan bukanlah akhir, tetapi ia merupakan permulaan jalan panjang yang harus kita isi.
Kalau dulu perjuangan dimenangkan oleh persatuan, pikiran, dan rasa-merasa antara satu dengan lainnya yang terbingkai dalam satu tujuan dan teriakkan merdeka! Maka hal yang sama pun berlaku untuk hari ini, bahkan hingga esok dan nanti dalam rangka membawa Indonesia beranjak dari ketertinggalan, dari kegalauan ekonomi, demokrasi, pendidikan dan seterusnya. Para pembaca yang budiman dengan sederhana dapat dibayangkan bila persatuan tidak terjadi dihadapan problematika kebangsaan yang kerap kali membuat rakyat-rakyat kecil terpekik hatinya karena bias daripada problem tersebut. Artinya penulis hendak mengatakan bahwa hal itulah yang kita butuhkan hari ini, ialah persatuan, akal sehat (pikiran), dan serata rasa-merasa, sebab bila tidak maka mimpi atau cita-cita kemerdekaan hanya akan menjadi impian indah bak impian Majnun terhadap Layla, dan hal itulah yang akan kita wariskan terus-menerus dari zaman ke-zaman.
Persatuan harus kita rajut tanpa membunuh keragaman, sebab itulah komponen utama yang tak terpisahkan bila kita benar-benar mengucapkan kemerdekaan dari hati yang suci, dan harus kita laksanakan bila kita benar-benar ingin beranjak dari kegalauan-kegalauan kembangsaan, berpindah kepada kebahagiaan dalam kehidupan bernegara. Segera kita harus sadari soal ini selama kita bersepakat untuk ber-Indonesia; bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, serta menginginkan benar-benar Indonesia maju dan bernilai dimata dunia sebagai bangsa yang besar.
Ada begitu banyak persoalan di negri kita ini yang amat sangat membutuhkan persatuan sebagai langkah awal untuk memberi pertolongan dan pengobatan, bukan individualisme atapahlagi apatisme, dengan berfikir bahwa ini adalah tugas pemerintah, dan tugas rakyat hanyalah menunggu dan brdoa. Bila harmonisasi akal, emosi, dan tindakann adalah kata kunci untuk menjadi manusia yang bernilai, maka hal yang sama pun dapat menjadi kausa bagi Indonesia, untuk bukan hanya sekedar bernilai tetapi lebih dari itu, ialah tangguh.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya